BERAS

Senin, 24 Mar 2014 07:46 WIB - http://mdn.biz.id/n/86230/ - Dibaca: 786 kali
Beras Putih (Berklorin) karena Permintaan Pasar
Beras Putih
Tentunya sangat mengejutkan ketika media memberitakan bahwa makanan pokok (beras/nasi) yang selama ini dikonsumsi manusia ternyata mengandung bahan kimia berbahaya bagi kesehatan. Betapa tidak, bahan kimia yang digunakan berupa klorin atau pemutih itu sengaja dicampurkan ke beras sebelum dipasarkan untuk mempercantik tampilan beras. Ironisnya, permintaan berasputih itu sendiri justru datang dari konsumen atau masyarakat.
Jumat pekan lalu, MedanBisnis didampingi Badan Ketahanan Pangan (BKP) Sumatera Utara yang diwakili Kabid Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Ir Suyono MM berkunjung ke salah satu kilang atau penggilingan padi di Desa Pasar VI Kuala Mencirim, Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat.

Si pemilik Kilang Padi Lestari Cap Bambu Kuning, Warno yang ditemui ketika melakukan penggilingan padinya mengaku pernah mendengar ada kilang-kilang padi yang mencampurkan bahan pemutih itu ke beras. "Saya tidak tahu kalau pemutih itu namanya klorin. Tapi, memang saya pernah mendengar bahan pemutih itu sengaja dicampur ketika penggilingan dilakukan supaya beras yang dihasilkan menjadi putih bersih," akunya.

Tidak hanya pemutih, bahan pewangi atau parfum juga ada yang mencampurkannya seperti aroma pandan dan lainnya. Tetapi, biasanya yang melakukan itu adalah kilang-kilang padi besar yang kapasitas produksinya satu sampai dua ton per jam. "Biasanya bahan pemutih atau pewangi itu disemprotkan dengan menggunakan alat kompressor," kata Warno memulai obrolannya.

Pemutihan atau pewangi yang dilakukan pada beras menurut informasi yang diperoleh Warno juga karena tingginya permintaan konsumen yang menginginkan beras putih dan wangi khususnya pasar Medan. "Konsumen Medan itu banyak yang minta beras putih bersih dan wangi. Nah, untuk memenuhi permintaan itu si pemilik kilang terpaksa mengakalinya dengan memberikan zat kimia itu tadi (klorin)," jelasnya.

Memang lanjut pria berusia 52 tahun ini, ada juga jenis beras yang benar-benar wangi seperti varietas Sintanur. Tetapi, produksinya terbatas. "Jalan satu-satunya ya dengan pewangi kimia itu," ucapnya lagi.

Sejujurnya kata Warno, warna beras alami yang dihasilkan dari penggilingan padi tidaklah putih mengkilap melainkan putih dan sedikit kusam. Karena tampilan warna dari beras itu sendiri dipengaruhi dari kadar air padi serta proses budidaya yang dilakukan.

Misalnya, diproses budidaya terjadi musim penghujan yang mengakibatkan banjir dan merendam tanaman padi sementara kondisi padi belum matang sempurna (belum siap panen).Namun, karena petani takut padi yang dihasilkan busuk terpaksa panen dilakukan meskipun belum waktunya.

Dan, ketika dilakukan penjemuran hingga kadar air (KA) 14% beras yang dihasilkan memiliki warna yang lebih buram atau putih kekuningan.

Tetapi, bila panen dilakukan ketika padi sudah siap dipanen dan penjemuran dilakukan hingga KA 14% warna beras yang dihasilkan akan putih tetapi tetap tidak mengkilap.
Selain itu lanjut dia, warna juga dipengaruhi tingginya serangan hama dan penyakit yang terjadi selama proses budidaya berlangsung di samping varietas atau jenis padi yang ditanam petani. "Tetapi, tetap saja beras yang dihasilkan berwarna putih alami, bukan putih mengkilap," tegasnya.

Warno juga mengatakan, dalam proses pemutihan beras yang dilakukan sejumlah oknum kilang padi, sebenarnya akan membuat beras menjadi cepat rusak. Sebab, zat pemutih lebih dulu dilarutkan ke dalam air baru kemudian disemprotkan ke beras ketika penggilingan dilakukan.

Kondisi itu membuat kadar air beras menjadi tinggi meskipun sebebumnya KA gabah saat digiling rata-rata 13%-14%. "Seharusnya dengan demikian beras dapat disimpan antara 3 - 6 bulan. Tetapi, dengan pencampuran zat pemutih tadi KA beras meningkat sehingga beras hanya bisa disimpan antara 1 - 2 bulan saja. Setelah itu beras akan berubah warna menjadi lebih jelek lagi,"ujarnya.

Begitupun kata Warno, dengan tingginya penggunaan pestisida dan obat-obatan yang diberikan petani selama proses budidaya memengaruhi masa simpan dan gabah atau beras yang dihasilkan. "Kalau dulu KA 14% bisa disimpan hingga 6 bulan tetapi sekarang ini (tanpa bahan pemutih) hanya bisa disimpan 3-4 bulan. Itu tadi, karena tingginya penggunaan pestisida dan obat-obatan yang diberikan petani," katanya lagi.

Cerita punya cerita, Warno, sipenghasil beras arias sawah Cap Bambu Kuning ini ternyata hanya memiliki kemampuan produksi berkisar 800 kg per jam atau sekitar 3 ton per setengah hari. Kecilnya kapasitas produksi mesinnya itu membuat ia tak mampu melebarkan pemasaran beras yang dihasilkannya.

Jadi, wajar kalau sampai saat ini pemasaran berasnya masih lokal, yakni Kabupaten Langkat dan sekitarnya. Begitupun, sebenarnya, Warno sendiri bukan tidak mau memasarkan berasnya sampai ke Kota Medan. Tetapi, karena sulitnya menembus pasar Medan menjadi kendala baginya. Banyak kriteria yang harus dipenuhi untuk bisa bersaing di pasaran Medan. Dan, itu sesuai dengan permintaan pasar.

Di antaranya, warna beras yang dihasilkan harus putih mengkilap dan butir pecahnya rendah. Sementara beras yang diproduksinya memiliki warna putih alami beras. "Saya tidak mau menggunakan zat pemutih untuk mempercantik tampilan beras sebagaimana yang diminta konsumen Medan. Kecuali konsumen Medan sendiri menerima apa adanya beras yang saya produksi," sebut Warno yang komit menjaga mutu dan kealamian berasnya.
(junita sianturi)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BERAS "

Post a Comment

11111111111111